23 June 2009

Nasehat untuk Anggota Dewan yang Baru Terpilih (#2)

Oleh : Budi Rahardjo, Anggota KOMBES, budjo_bujel@yahoo.com

Nasehat #2 : Banyak Memberi, Sedikit Meminta

Nasehat ini agak panjang dan sedikit serius. Jadi mohon sabar untk membacanya.


Pak Arpan, seorang guru tua yang hidup miskin mengajar murid-murid miskin di kampung miskin, mengajarkan kepada para muridnya begini: Berpikirlah untuk memberikan sebanyak-banyaknya dan jangan berpikir untuk menerima sebanyak-banyaknya. Ajaran Pak Arpan itu terasa sangat menusuk kemanusiaanku, ketika aku tahu bahwa murid-muridnya itu adalah anak-anak dari keluarga miskin. Demikian yang kita saksikan pada adegan di Laskar Pelangi. Lantas apa yang melandasi konstruksi pikiran pak guru itu untuk mengajarkan Banyak Memberi dan Sedikit Meminta? Mari kita kupas.

Ustadz dan kyai tradisionil dalam memberikan pengajian di kampung-kampung yang saya sering ikuti pada masa kecil, sering kali mengajarkan bagaimana manusia itu.., lahir dalam keadaan telanjang. Polos. Tak berharta, tak berilmu. Seperti kertas putih yang belum tertoreh tinta. Demikian selalu para kyai mengingatkan titik berangkat sejarah dari tiap individu manusia yang ada di muka bumi. Dan demikian memang adanya.

Pada detik seorang jabang bayi dilahirkan…, Ceprot…!!, maka mulailah ia menerima berbagai anugerah. Pakaian, ASI, airhangat untuk mandi, kado dari sanak saudara, ilmu, pengetahuan, doa-doa dan harapan, kasih sayang, warisan, pusaka dan sebagainya. Demikian terus-menerus ia menerima demikian berlimpah anugerah, baik dari orang tua, saudara, lingkungan sekitar, bahkan entah dari siapa orang yang nggak dikenalnya. Sepaaanjang hidupnya seseorang akan terus menruuss menerima berbagai macam anugerah.

Nah.., pertanyaanya.., adakah alasan bagi seseorang untuk tidak meneruskan anugerah yang ia dapatkan kepada orang lain..?

Adakah hak seseorang untuk menyimpan bagi dirinya sendiri atas anugerah yang ia terima dari orang lain…? Tentu kita tahu jawaban dari pertanyaan sederhana itu.
Ada sebuah cerita nyata yang ditulis di harian berbahasa Ingris yang terbit di ibukota, The Jakarta Post, di pertengahan tahun lalu. Dikisahkan, ketika Anand Khrisna datang ke India untuk bertemu Dalai Lama di pengasinganya, Sang Dalai Lama mengatakan bahwa ia belajar dari Indonesia sesuatu yang sangat penting dan fundamental bagi sikap hidup dan ajarannya. Anand Khrisna pun bingung dan bertanya.., apa yang dipelajari sang Dalai Lama itu dari negeri yang lagi karut marut ini... Lantas Dalai lama menceritakan, bahwa ketika ia mengunjungi Indonesia pada saat dirinya masih muda, ia belajar tentang konsepsi TERIMA-KASIH. Tidak ada bangsa lain yang mengungkapkan rasa terima kasih seperti bangsa Indonesia yang menggunakan kata TERIMA-KASIH. Thank You dari bahasa Inggris tidak diartikan TERIMA dan KASIH. Demikian juga dengan kata Dhanyabad dalam bahasa Nepal Maturnuwun (jawa), Mauliate (batak), soon (madura), maraming selamat po (agalog), Kap Kuhn Krap (thailand), dan Xie Xie (china) bukan berarti TERIMA dan KASIH. Terima dan kasih itu sebuah proses resiprokal.

Setiap saat, kita menerima anugerah dan menerima energi kosmos. Dan manusia yang menerima berhak untuk mengasihnya kembali. Dan makin tinggi kualitas manusia, maka makin tinggi pula kualitas yang ia kasihkan. Maka, pada saat ia menerima sesuatu yang buruk, negatif, jahatpun.., ia mengasih sesuatu yang positif dan yang baik.
Jadi.., secara kultural, bangsa Indonesia sendiri telah memiliki dasar filosifis dalam mendorong anak-anak bangsanya untuk mengasih manakala ia menerima.

Martabat manusia itu akan muncul dan mengemuka, manakala ia memberi. Bukan saat ia meminta-minta. Orang merasakan kebahagiaan bukan saat ia meminta. Melainkan saat ia memberi. Kemanusiaan seseorang akan manifes/mengejawantah mana kala ia memberi. Bukan mana kala ia meminta-minta.

Adakah diantara kita, yang pernah menyaksikan seorang pengemis, ketika meminta-minta menampakan rona muka kebahagiaannya?? Tak satupun... bahkan mereka malu. Setidaknya dalam hatinya ada yang ia ingkari. Ia mengikari martabatnya sendiri. Itulah.., mengapa, Rasul Allah melalui hadistnya mengajarkan bahwa tangan di atas lebih mulai dari pada tangan di bawah. Kemuliaan itu urusannya dengan martabat. Hakikat kemanusiaan seseorang lebih tinggi manakala ia memberi.

Dengan demikian bisa dipahami, mengapa pak Arpan mengajarkan murid-muridnya untuk memberi sebanyak-banyaknya. Karena sesungguhnya yang sedang ia bangun adalah martabat anak didiknya. Yang sedang ia bangun adalah karakter anak didiknya agar mampu menjadi manusia yang bermartabat. Manusia yang bisa merasakan nikmatinya ketika ia memberi. Manusia yang mulai karena tangannya ada di atas.
Mari kita lihat relevansinya nasihat ini untuk anggota dewan.

Kita tahu..., begitu anda dilantik menjadi anggota dewan.., akan ada demikian banyak prefilege (keuntungan, keistimewaan, kekhususan dll) yang diterima. Dari mulai gaji yang memadai, tunjangan rumah, listrik, uang sidang, uang reses, uang pakaian, kendaraan dinas, staff khusus, laptop, uang komunikasi, kesempatan jalan-jalan keluar negeri dan mungkin masih banyak lagi yang saya belum tahu.
Adakah alasan bagi sampeyan untuk tidak meneruskan apa yang sampeyan terima itu?? Adakah alasan sampeyan untuk hidup lebih makmur dari pada rakyat yang sampeyan wakili?

Terlebih, dengan posisi sampeyan sebagai Legislator, sampeyan telah diberkahi sebuah kesempatan untuk berbuat baik. Telah diberi kesempatan untuk merubah nasib orang lain. Sampeyan Diberi hak yang luar biasa dalam menentukan arah nasib bangsa. Diberi kesempatan untuk meluruskan yang salah.

Adakah alasan bagi sampeyan untuk tidak memberikan kesempatan bagi nasib orang lain/rakyat yang sampeyan wakili untuk berubah?
Adakah alasan bagi sampeyan untuk tidak memberikan orang lain untuk hidup lebih layak dari sampeyan?

Inilah saatnya bagi sampeyan untuk menjadi manusia yang lebih mulia. Dengan menempatkan tangan anda di atas. Inilah kesempatan bagi sampeyan untuk menjadi manusia yang bermartabat dengan memberikan bagian diri anda.

Inilah saat bagi sampeyan kesempatan untuk bisa merasakan kebahagiaan karena sampeyan akan memiliki kesempatan untuk bisa memberi.

Kami sebagai rakyat.., tidak akan meminta sebagian dari gaji sampeyan. Kami tidak akan meminta bagian dari jatah tunjungan komunikasi sampeyan. Kami tidak akan meminta nebeng mobil dinas sampeyan. Kami sebagai rakyat tidak akan mengungkit uang honor sidang sampeyan.

Karena kami, rakyat yang sampeyan wakili pun tidak ingin menjadi peminta-minta. Tidak ingin tangan kami di bawah.

Kami ingin sampeyan memberikan diri sampeyan. Tapi bukan harta sampeyan. Kami mengemis kepada sampeyan untuk menggunakan pikiran sampeyan untuk memikirkan agar nasib bangsa ini membaik. Kami mengemis kepada sampeyan untuk menggunakan hati sampeyan untuk merasakan derita rakyat yang sampeyan wakili. Kami meminta tangan dan kaki sampeyan untuk melakukan sesuatu yang bisa memperbaiki nasib rakyat yang sampeyan wakili.

Kami meminta Pulpen sampeyan hanya digunakan untuk meneken keputusan-keputusan yang berpihak kepada kami, karena kamilah rakyat yang sampeyan wakili. Kami meminta sampeyan menggunakan palu hanya untuk mengetok keputusan merubah nasib kami menjadi lebih baik.

Kami hanya berharap sampeyan terus berpikir untuk memberikan sebanyak-banyaknya, dan jangan berpikir untuk meminta sebanyak-banyaknya.

Silakan lihat nasehat seri berikutnya.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home